Minggu, 29 Mei 2011

MAKNA DIBALIK KATA MAAF (INDAHNYA KATA MAAF)



Mudah diucapkan, tapi sulit untuk memaknainya dengan benar. Bagaimana caranya untuk mencapai maaf yang ikhlas agar bisa menyehatkan jiwa dan raga? Cobalah perhatikan betapa sering kata maaf meluncur dari mulut kita – menyenggol badan orang sedikit sajakita mengucapkan maaf; ingin lewat di depan orang lagi-lagi kita bilang maaf; bahkan sebelum mengakui suatu kesalahan, kita buru-buru minta maaf terlebih dahulu. Dalam konteks ini, permintaan maaf lebih berkesan sebagai basa basi. Padahal, sebetulnya meminta maaf mempunyai makna yang lebih dalam.

Sejak zaman dulu pun, meminta maaf dan memaafkan dianggap sebagai hal penting dalam kehidupan. Bukan dalam agama Islam saja, agama-agama yang mendunia seperti agama Kristen, Hindu, dan Buddha juga memasukkan maaf dalam ajarannya. 

Melepaskan marah dan bergerak maju
Katherine Piderman, PhD, staf ahli di Mayo Clinic mengatakan bahwa maaf (forgiveness) adalah keputusan untuk melepaskan perasaan marah, benci, dan kesal, dan juga pikiran-pikiran untuk membalas dendam. ”Memaafkan bisa mendatangkan pemahaman, empati, dan kasih sayang pada orang yang pernah menyakiti kita,” Piderman menambahkan.
Sebaliknya, ketika kita hidup tanpa pemaafan, maka kita akan melanggengkan derita psikis yang berawal dari sikap permusuhan dan keinginan untuk mengalahkan. Demikian dikatakan Felix Lengkong, doktor di bidang psikologi klinik yang juga menjadi dosen di Universitas Atma Jaya Jakarta (Kompas, Januari 2008).
Meski demikian, Robert Enright, PhD, profesor di bidang perkembangan manusia di University of Wisconsin Madisonmengingatkan bahwa memaafkan tidak berarti kita harus berpura-pura bahwa situasi yang membuat kita tidak nyaman tidak pernah terjadi. ”Memaafkan berarti Anda menerima apa yang terjadi, berusaha menerima orang lain yang menyakiti Anda, menyadari dan mengakui bahwa Anda terluka, dan kemudian memutuskan bahwa situasi itu tidak akan Anda izinkan untuk merusak kehidupan Anda,” kata Enright.

Menerima diri sendiri apa adanya
Meski memaafkan orang lain itu penting, Reza Gunawan, praktisi penyembuhan holistik, mengingatkan kita untuk memaafkan diri sendiri sebelum memaafkan orang lain.
”Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering marah pada diri sendiri karena hasil yang dicapai tak sesuai dengan harapan kita atau yang kita sebut sebagai sebuah kegagalan,” kata Anil Bhatnagar, seorang penulis dan trainer perubahan perilaku, dalam tulisannya yang berjudul Why Forgive?
”Sepanjang hidup, kita terbiasa untuk mengukur diri kita dan bertingkah laku sesuai standar yang ditentukan oleh masyarakat. Akibatnya, kalau pencapaian kita tidak sesuai dengan harapan masyarakat, kita mulai percaya bahwa kita tidak cukup baik dan tidak berharga. Kemudian kita memvonis diri kita dengan kata-kata ’aku gagal…’ atau ’aku seharusnya… ,’ yang menimbulkan rasa bersalah,” kata Gwen Nyhus  Stewart, penulis buku The HealingGarden: A Place of Peace.
Karena itu, Reza menyarankan untuk terlebih dahulu memaafkan diri sendiri dan melepaskan diri dari berbagai ”penjara batin” yang kita ciptakan sendiri, yang menjadi akar dari segala keluhan, stres, dan penderitaan kita.
          Rani Anggraeni Dewi, MA dari Yayasan Indonesia Bahagia, meyakini bahwa memaafkan diri sendiri – juga memaafkan orang lain – adalah salah satu bentuk detoks emosi. ”Racun-racun yang ada di dalam hati kita, jika tidak dibersihkan dapat meracuni juga orang lain di sekitar kita,” kata Rani.

Usir berbagai penyakit fisik
Lebih lanjut menurut Rani, ketika kita memendam emosi-emosi negatif di dalam hati kita, selain menyiksa diri dan membuat orang di sekitar kita menderita, ternyata kita juga bisa merusak fisik kita.
Dr Tim Ong, penulis buku  From Fear to Love: A Spiritual Journey, mengatakan bahwa seringkali penyakit fisik adalah manifestasi dari emosi dan konflik yang belum terselesaikan, yang umumnya berhubungan dengan kemarahan dan menyalahkan diri sendiri. ”Kemarahan biasanya kita arahkan pada obyek di luar diri kita, yaitu ke orang lain, sementara menyalahkan diri sendiri adalah kemarahan yang diarahkan ke dalam, dan keduanya membawa penyakit di tubuh kita,” demikian penjelasannya.

Apa saja manfaat memaafkan?
  • Hindarkan diri dari gangguan jantung. Sebuah penelitian membuktikan, semakin lama seseorang menyimpan kemarahan dalam hatinya,  risiko untuk mengalami tekanan darah tinggi semakin meningkat.
  • Kurangi sakit punggung.  Sebuah penelitian berskala kecil terhadap beberapa pasien dengan sakit punggung bagian bawah yang kronis di Duke University Medical Centre menunjukkan bahwa rasa sakit yang dirasakan berkurang ketika mereka bisa lebih memaafkan. Pengurangan rasa sakit ini makin terasa ketika para pasien sakit punggung kronis diminta untuk melakukan meditasi selama delapan minggu yang bertujuan untuk mengubah kemarahan menjadi rasa cinta.
  • Tingkatkan imunitas.  Penelitian yang dilakukan oleh Institute of HeartMath di Boulder Creek, membuktikan situasi yang menimbulkan kemarahan, frustrasi, dan kebencian selama lima menit, tingkat antibodi Ig A (immunoglobulin A) yang membantu tubuh melawan infeksi, ternyata menurun sangat signifikan.  Efek negatif ini masih bertahan selama lebih dari 5 jam. Sebaliknya, ketika diminta untuk mengingat dan memunculkan kembali perasaan cinta pada seseorang atau situasi yang menyenangkan selama 5 menit, ternyata kadar IA subjek penelitian langsung meningkat tajam
  • Turunkan Risiko Kanker. Bahkan, penelitian yang dilakukan O Carl Solomon, MD., Direktur Simon Cancer Counseling Center di California menunjukkan bahwa kecenderungan menyimpan dendam dan ketidakmampuan untuk memberikan maaf berhubungan dengan peningkatan risiko terkena kanker. Memaafkan diri sendiri, memberi maaf pada orang lain tanpa syarat dan merasa dimaafkan orang lain ternyata berhubungan dengan angka kejadian kanker. Khusus perasaan dimaafkan oleh orang lain ternyata berhubungan dengan penurunan sekitar 50% dari munculnya kanker tiga tahun kemudian. Menurut penelitian ini, perasaan dimaafkan mengurangi stres yang dirasakan seseorang serta efek-efek negatif lain. Kondisi ini pada akhirnya akan memberikan pengaruh pada sistem kimiawi saraf, endokrin, dan imunitas tubuh, yang semuanya berhubungan dengan perkembangan sel kanker.

Keuntungan untuk diri sendiri
          Efek positif memberi maaf – baik pada orang lain maupun pada diri sendiri –diakui oleh Elizabeth Scott, MS, seorang konselor di bidang anger management. ”Proses memaafkan itu lebih berpengaruh terhadap diri sendiri dibandingkan untuk orang lain,” katanya.
Bahkan, Sidney B Simon EdD., seorang konsultan dan pengajar diUniversity of Massachussetts mengatakan, “Jika Anda merasa malu untuk mengatakan ‘saya memaafkan kamu’, simpan saja kalimat itu di dalam hati, karena maaf tidak perlu ditawarkan secara langsung pada orang yang melukai Anda.”
Sementara, jika hubungan dengan orang itu penting untuk Anda dan Anda ingin mempertahankannya, Scott menyarankan untuk berbicara langsung dengan orang tersebut, sehingga dia pun bisa memahami apa kesalahannya terhadap Anda.
Tapi, jika Anda ingin memutuskan hubungan dengannya, atau situasinya tidak memungkinkan Anda untuk menyampaikannya secara langsung,  Scott menyarankan untuk membuat tulisan tentang hal-hal yang ingin Anda maafkan, lalu membakarnya sampai habis.. ”Proses membakar kertas sampai habis itu bisa membantu Anda melepaskan  emosi negatif yang Ada miliki,” katanya.

Tingkatkan harga diri
            Ketika orang sudah berhasil membebaskan diri dari emosi negatif, maka yang tertinggal adalah emosi positif, yang selanjutnya akan mendorong orang untuk berperilaku positif. ”Dengan perilaku positif, kita bisa mempengaruhi atau menginspirasi orang lain untuk hidup dengan nilai-nilai universalseperti perdamaian, toleransi, tanggung jawab, kejujuran, kerendahan hati, dan kasih sayang,” Rani mengungkapkan.
            Tak hanya berguna bagi orang lain, efek dari emosi yang  positif ini tentu juga menguntungkan diri kita sendiri. ”Orang yang memiliki tingkat toleransi rendah, dan sulit untuk memaafkan orang lain biasanya mempunyai penghargaan rendah terhadap diri sendiri,” kata Enright. Orang-orang dengan karakter semacam ini cenderung mengalami kecemasan dan depresi. ”Tapi, jika orang ini mau belajar untuk bertoleransi dan memaafkan, harga diri mereka akan meningkat, kecemasan dan depresi pun akan hilang, ” tambahnya.
            ”Kita semua tahu, orang dengan harga diri yang tinggi cenderung bisa mencintai dirinya sendiri, dan merasa hidupnya begitu indah,” kata Enright. Kuncinya, ya itu tadi,  meminta maaf dan memberi maaf, baik  pada orang lain maupun pada diri sendiri


Tidak ada komentar:

Posting Komentar